tirto.id - Pada Januari 2017, penyelam Mark Hedger melaporkan bangkai kapal Kokusei Maru, Higane Maru, dan Hiyori Maru yang karam pada 1944 mengalami kerusakan berat. Tiga kapal kargo Jepang yang biasa menjadi spot wisata bawah air ini diduga rusak karena ulah tongkang bercakar Chuan Hong 68.
Segera saja hal itu mengundang perhatian. Apalagi setelah mengetahui penjarahan oleh Chuan Hong 68 direstui Kementerian Perhubungan Malaysia. Dalihnya, Chuan Hong 68 telah ditugasi Universitas Sabah untuk meneliti arkeologi maritim di Teluk Usukan, Kota Kinabalu. Bukti dokumen izin penelitian yang tersebar membuat pihak kampus dicecar.
Al-Rashid Zulkefli, aktivis dari Sabah yang melaporkan dan memantau kasus ini dari hari ke hari, mengatakan izin dari kampus itu bermasalah.
“Ada dua hal. Di surat izin tertulis kegiatan hanya riset. Tak ada kegiatan pengambilan material dari kapal. Tapi riil di lapangan mereka mengambil barang. Alasannya karena di kapal itu ada bahan beracun. Ini alasan yang tidak masuk akal,” katanya.
Sorotan yang ramai membuat operasi salvage dihentikan, tetapi Chuan Hong 68 dibiarkan melenggang. Universitas Sabah, menurut Zulkefli, “sekadar rapat basa-basi” saat membahas tindakan tegas terhadap Chuan Hong 68 sesudah munculnya protes di sana-sini.
Setelah kasus tersebut mencuat ke permukaan, Chuan Hong 68 bergeser dari utara Kalimantan ke perairan Anambas di Kepulauan Riau. Di sinilah, pada Mei 2017, Chuan Hong 68 ditangkap oleh otoritas Indonesia. Namun, seperti kasus di Sabah, tongkang keruk ini bisa meloloskan diri.
Laksamana Muda Achmad Taufiqoerrochman mengatakan lepasnya Chuan Hong 68 karena “anak buahnya tertipu”. Saat itu prajurit TNI AL meninggalkan Chuan Hong 68 di tengah laut dan membawa seluruh awak kapal ke pangkalan TNI AL di Pangkal Pinang. Namun, saat kembali, kapal itu raib.
“Bisa ditarik kesimpulan kalau kapal itu bergerak [artinya] ada kemungkinan masih ada awak di sana,” ujar Taufiqoerrochman, dikutip dari Antara.
“Kita sudah berkoordinasi dengan Interpol untuk membantu menangkap Chuan Hong 68,” kata Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, seperti dikutip Antara pada 5 Mei. “Saya telah menghubungi duta besar Malaysia dan sudah menghubungi pagi ini untuk kerja sama agar menyerahkan MV Chuan Hong kepada kita.”
Mengapa Chuan Hong 68 Dibiarkan Lepas?
Lantas siapa dalang di balik Chuan Hong 68 hingga leluasa beroperasi di Indonesia dan Malaysia?
Nomor identitas kapal (IMO) menyebut pemilik Chuan Hong 68 adalah Fujian Yarui Marine Engineering Co. Ltd. Perusahaan ini berdiri sejak Juni 2013 dan berbasis di Kota Fuzhou, Provinsi Fujian, Cina. Pemiliknya adalah Wei Huailin.
Saat dikonfirmasi oleh reporter HK01, media online berbasis di Hong Kong yang bekerjasama dengan Tirto dalam mengerjakan laporan ini, wakil manajer umum Fujian Yarui, Wei Yixin, mengatakan perusahaan memang mulai ekspansi ke luar negeri sejak 2017.
Kasus di Malaysia, menurut Wei, berpegang dari izin seorang profesor di Universitas Sabah. Saat beroperasi, Chuan Hong 68 disewa Accenture Strategy Sdn. Bhd yang berkantor di Johor. Wei berdalih bahwa benda-benda di dasar laut yang akan diambil untuk sebuah pameran di museum.
Setelah memicu kontroversi, Chuan Hong 68 menunggu selama dua bulan di tengah laut dan berharap proyek kembali dilakukan.
“Kami hanya menyelamatkan jangkar dan bangkai kapal seberat 100 ton,” katanya, menambahkan barang-barang itu kemudian diberikan kepada profesor dan Accenture.
Adapun kasus penangkapan oleh otoritas Indonesia, menurut Wei, lantaran “mesin kapal mogok” di laut sehingga terombang-ambing sampai ke yurisdiksi Indonesia. “Kapal lalu ditangkap Angkatan Laut Indonesia karena mereka berpikir kapal melakukan pekerjaan illegal salvage di Indonesia.”
Berbeda dari pernyataan resmi pejabat Indonesia, Wei berkata Chuang Hong 68 “sengaja dibebaskan” oleh TNI AL. “Setelah mencari kapal, mereka tidak menemukan bukti,” kata Wei. Ia membenarkan awak kapal ditangkap oleh pemerintah Indonesia karena “dakwaan masuk secara ilegal ke [perairan] Indonesia.”
Ada 20 awak kapal yang ditangkap: 16 ABK dari China, 3 ABK dari India, dan 1 ABK dari Malaysia.
Kami mencari informasi bagaimana nasib para awak kapal Chuan Hong 68 tersebut: diperiksa hingga pengadilan atau dilepas? Koordinator Satgas 115 (Satuan Tugas Pemberantasan Illegal Fishing), Mas Achmad Santosa, mengklaim “tak tahu” nasib mereka.
“Kenapa dikejar lagi isunya? Kan, itu sudah lama sekali. Silakan tanya ke TNI AL.”
M. Abduh Nurhidajat, sekretaris Ditjen Perikanan Tangkap KKP, mengatakan saat Chuan Hong 68 ditangkap oleh TNI AL, para ABK dari China dibawa ke Kepulauan Anambas, tetapi ia tak mengetahui kejelasan nasib mereka.
“Saya tidak mengerti karena Lantamal yang menangkap,” ujar Abduh merujuk tentara-tentara dari pangkalan utama TNI AL IV yang bermarkas di Tanjung Pinang yang melakukan penangkapan.
Saat dikonfirmasi ke pihak TNI AL, Panglima Komando Armada RI Kawasan Barat, Laksamana Muda Aan Kurnia, mengatakan “tak ada pembebasan” para ABK Chuan Hong 68. “Mereka yang tidak memiliki izin lengkap dideportasi,” ujar Aan melalui telepon, 11 Januari 2018.
Ia berkata TNI AL memproses nakhoda Chuan Hong 68 ke jalur hukum. Ia meminta kami “menunggu penjelasan lebih lanjut” karena ia butuh informasi terbaru mengenai perkembangan kasus Chuan Hong 68.
Penjelasan Aan mengenai pembebasan awak kapal selaras pernyataan Wei Yixin, wakil manajer umum Fujian Yarui, pemilik Chuan Hong. “Mereka sudah dibebaskan secara bertahap,” ujar Wei.
Menteri KKP Susi Pudjiastuti, saat ditanya secara informal di sebuah acara pada 12 Januari lalu, berkata bahwa kasus Chuan Hong 68 “masih diselidiki” oleh otoritas Indonesia. Ia juga bilang “belum mengetahui” Chuan Hong 68 menjadi bagian dari sindikat penjarah kapal-kapal bersejarah di Indonesia dan Malaysia.
Tirto mengirimkan permintaan wawancara tatap muka dengan Susi sejak awal tahun. Susi berjanji wawancara bisa dilakukan setelah 17 Januari, tetapi sampai laporan ini dirilis wawancara tersebut belum terealisasi.
Dukungan Pemerintah RRT terhadap Chuan Hong 68?
Saat Chuan Hong 68 ditahan, Fujian Yarui Marine didukung pemerintah China. Juru bicara Kementerian Luar Negeri Geng Shuang menyebut Chuan Hong 68 tak sepenuhnya bersalah. Kapal ini sedang disewa perusahaan Malaysia, Accenture Strategy Sdn. Bhd. Shuang menegaskan Chuan Hong 68 beroperasi sesuai kontrak kerja.
Wei Yixin, wakil manajer umum Fujian Yarui, menampik pemerintahnya terlibat dalam proses pembebasan kapal dan awak kapal. “Kami hanya perusahaan swasta. Tidak ada sangkut paut dengan pemerintah,” katanya.
Namun saat kasus penjarahan yang melibatkan Universitas Sabah, Kantor Sektariat Perdana Menteri Malaysia dikritik karena berpihak pada Chuan Hong 68. Dalam satu dokumen, kantor itu menyebut:
“Dalam pemeriksaan yang dijalankan diatas kapal Chuan Hong 68, item yang didapati dibawa keluar dari kapal karam adalah sebuah sauh, sebuah alat pemadam api, dan juga beberapa barangan kecil sahaja. Tiada bangkai kapal yang diambil keluar.”
Klaim ini bertolak belakang dari konklusi laporan video dan foto penyelam Mark Hedger yang membuktikan 99 persen kapal bersejarah di Teluk Usukan sudah raib dibawa Chuan Hong 68.
Terkait penahanan di Malaysia, penelusuran The Star, media online Malaysia berbasis di Petailing Jaya, mengungkap kapal ini tak ditahan lama oleh Aparat Penguatkuasaan Maritim Malaysia. Mereka berkata tak bisa menahan lama-lama Chuan Hong 68 karena "tanpa bukti kuat". Pemerintah Indonesia pun, kata mereka, “tak serius” menyeretnya untuk diadili di Indonesia.
Usai dilepaskan, pada Oktober 2017, kapal raksasa sepanjang 122 meter dan selebar 32 meter ini terdeteksi menuju Karachi, Pakistan. Awal Januari 2018, tongkang bercakar dengan dua crane ini terpantau tengah lempar jangkar di Selat Singapura, dekat Batam.
Wei berkata tongkang seberat 8.352 ton ini sedang mengerjakan beberapa proyek penyingkiran bangkai kapal di Malaysia.
Jalur aktivitas Chuan Hong 68 selama Oktober 2017 - awal Januari 2018. © Google Maps
Sering Melanggar Kesepakatan Kerja
Dalam situswebnya, Fujian Yarui Marine Engineering Co.,Ltd, pemilik Chuan Hong 68, mengklaim telah melakukan pekerjaan salvage selama lebih dari 10 tahun dan “... telah mengambil lebih dari 1.000 pelbagai jenis kapal karam.”
Hasil penelusuran dokumen menemukan perusahaan ini sering bermasalah dan diseret ke pengadilan. Sebagian besar kasus terkait kegagalan perusahaan membayar gaji karyawan.
Ada beberapa kasus berkaitan pelanggaran kesepakatan. Misalnya, sengketa Fujian Yarui dengan Guangzhou Salvage. Fujian Yarui setuju mengambil kapal karam berbendera China yang tenggelam di Vietnam. Namun ada beberapa masalah sehingga Guangzhao Salvage membatalkan kesepakatan tersebut. Dua perusahaan perdagangan kabel juga menuntut Fujian Yarui karena melanggar kesepakatan.
Terkait operasi yang bermasalah di Malaysia dan Indonesia, Wei Yixin, wakil manajer umum Fujian Yarui, bersikeras mereka beroperasi sesuai aturan. Namun, gaduh-gaduh pada tahun lalu membuat perusahaan ini mulai takut dan berpikir ulang untuk berbisnis di Asia Tenggara.
“Situasinya tidak stabil sekarang di sana,” tutupnya.
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Fahri Salam